Selamat Datang di Blog Triana , Semoga bermanfaat;) :)

Minggu, 12 Mei 2013

Landasan Filosofis Bimbingan dan Konseling



A.    Makna, Fungsi, Prinsip-Prinsip Filosofis Bimbingan dan Konseling
“Landasan” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (pusat bahasa diknas.go.id) diartikan sebagai alas, dasar, atau tumpuan. Adapun istilah landasan sebagai dasar dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu kepada pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.
“Filosofis” , berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas suku kata philein/philos yang artinya cinta dan sophos/Sophia yang artinya kebijaksanaan, hikmah, ilmu, kebenaran, jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Secara maknawi filsafat dimaknai sebagai suatu pengetahuan yang mencoba untuk memahami hakikat segala sesuatu untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan.
Sikun Pribadi mengartikan filsafat sebagai suatu “usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia di alam semesta ini”. Dapat diartikan juga sebagai perenungan atau pemikiran tentang kebenaran, keadilan, kebaikan, religi, serta sosial-budaya (Yusuf, 2010).
Berarti landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek bimbingan dan konseling, asumsi tersebut adalah jawaban menyangkut pertanyaan tentang apakah makna hidup itu? Dari mana asal manusia dan ke mana perginya?, Siapa manusia itu? Dan pertanyaan sulit lainnya.
Fungsi filsafat dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1) setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah faham dan konflik, dan (4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah. Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Keputusan tersebut mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi secara penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, keputusan yang diambil akan terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, bahkan sebaliknya dapat mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama, walaupun berada dalam iklim kehidupan yang serba kompleks.(Yusuf, 2010).
Makna dan fungsi filsafat dalam kaitanya dengan layanan bimbingan dan konseling, Prayitno dan Erman Amti (dalam Yusuf, 2010) mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa, “Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tidakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dalam mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu pemikiran dan pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya.                                                                        
John J. Pietrofesa et.al. (1980: 30-31) dalam (Yusuf, 2010) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang berkaitan dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu sebagai berikut. :
a.      Objective Viewing. Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatifi atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, minat atau keinginannya secara konstruktif.
b.      The Counselor must have the best interest of the client at heart. Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilan untuk membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).
John J. Pietrofesa et.al. (1980) dalam (Yusuf, 2010) selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut.
a. Bimbingan hendaknya didasarkan pada pengakuan akan keilmuan dan harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan.
b.  Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.
c.  Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan.
d.Bimbingan bukan prerogratif kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilaaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
e.  Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya.
f.  Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi dan      sosialisasi.
B. Hakikat Manusia Dalam Landasan Filosofis Bimbingan dan Konseling
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.
Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
a.    Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
b.    Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
      c.    Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
d.    Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
e.    Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
f.     Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
g.    Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
h.    Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
i.      Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
                                           
C.    Tujuan dan Tugas Kehidupan manusia
Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia, sejahtera, nyaman, dan menyenangkan. Secara ekstrim, Freud mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu mengejar kenikmatan (pleasure principle) dan menghindar dari rasa sakit (kondisi yang tidak menyenangkan).
            Prayitno dan Erman Amti (2002: 10-13) mengemukakan model Witner dan Sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Menurut mereka, ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat itu ditandai dengan lima kategori tugas kehidupan, yaitu sebagai berikut :
1.Spiritualitas.
            Dalam kategori ini terdapat agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Dimensi lain dari aspek spiritualitas ini adalah (1) kemampuan memberikan makna kepada kehidupan, (2) optimis terhadap kejadian-kejadian yang akan datang, dan (3) diterapkannya nilai-nilai dalam hubungan antar orang  serta dalam pengambilan keputusan.
2.Pengaturan Diri.
            Seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat ciri-ciri (1) rasa diri berguna, (2) pengendalian diri, (3) pandangan realistik, (4) spontanitas dan kepekaan emosional, (5) kemampuan rekayasa intelektual, (6) pemecahan masalah, (7) kreatif,         (8) kemampuan berhumor,      dan (9) kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
3.Bekerja.
Dengan  bekerja  seseorang  akan  memperoleh  keuntungan  ekonomis  (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan  papan), psikologis (rasa  percaya diri,dan perwujudan diri),dan sosial(status dan persahabatan).
4.Persahabatan.
            Persahabatan merupakan hubungan sosial, baik antar individu maupun dalam masyarakat secara lebih luas, yang tidak melibatkan unsur-unsur perkawinan dan keterikatan ekonomis. Persahabatan ini memberikan tiga keutamaan kepada hidup yang sehat, yaitu (1) dukungan emosional, (2) dukungan material,dan (3) dukungan informasi.
5.Cinta.
            Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling kerjasama, dan saling memberikan komitmen yang kuat. Penelitian Flanagan (1978) menemukan bahwa pasangan hidup suami istri, anak, dan teman merupakan tiga pilar paling utama bagi keseluruhan penciptaan kebahagiaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perkawinan dan persahabatan secara signifikan berkontribusi kepada kebahagiaan hidup.
Paparan tentang hakikat, tujuan dan tugas kehidupan manusia di atas sebagai hasil olah pikir atau nalar (nadhar). Para ahi mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini terutama terkait dengan perumusan tujuan bimbingan dan konseling, dan cara pandang konselor terhadap klien yang seyogyanya didasarkan kepada harkat dan martabat kemanusiaannya manusia.
Bagi bangsa Indonesia yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah Pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat. Sehubungan dengan hal itu, program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut :

  1. Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Dengan demikian tujuan bimbingan dan konseling itu adalah individu (peserta didik) agar mampu (1) mengembangkan potensi, fitrah, atau jati dirinya sebagai makhluk Tuhan, dengan cara mengimani, memahami dan mengamalkan ajaran-Nya; (2) mengembangkan sikap-sikap yang positif, seperti respek terhadap harkat dan martabat diri sendiri dan orang lain, dan bersikap empati; (3) mengembangkan sikap kooperatif, kolaboratif, toleransi, dan altruis (ta'awun bilma'ruf); (4) mengembang¬kan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain, bersikap terbuka terhadap kritikan orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat; dan (5) mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan, dan pekerjaan).
  2.  Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu beriman dan bertakwa, bersikap respek terhadap orang lain, mau bekerjasama dengan orang lain, bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa.
    c.  Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung terwujudkannya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umunmya. Upaya-upaya itu di antaranya: (1) menata lingkungan hidup yang hijau berbunga, dan bersih dari polusi (udara, air, dan limbah/sampah); (2) mencegah atau memberantas kriminalitas, minuman keras, judi, dan penggunaan obat-obat terlarang (seperti narkoba/Naza); (3) menghentikan tayangan-tayangan televisi yang merusak nilai-nilai Pancasila, seperti tayangan yang merusak aqidah, dan akhlak (moral) warga masyarakat, terutama anak-anak dan remaja; (4) mengontrol secara ketat penjualan alat-alat kontrasepsi (terutama pil dan kondom); dan (5) memberantas korupsi dan melakukan clean government (pemerintahan yang bersih).
D.     Pendekatan Dalam Landasan Filosofis Bimbingan Konseling
                Filsafat dasar merujuk pada pandangan tentang manusia. Setiap pendekatan memiliki pandangan yang berbeda tentang sifat manusia, pribadi manusia, kondisi manusia dll. Pandangan tentang manusia ini akan melahirkan konsep dan landasan filosofis mengenai bimbingan dan konseling. Berikut pemaparannya.
a.    Pendekatan Psikoanalitik.
            Manusia pada dasarnya ditentukan oleh energi psikis dan pengalaman-pengalaman dini. Motif-motif dan konflik-konflik tak sadar adalah sentral dalam tingkah laku sekarang. Kekuatan-kekuatan irrasional kuat; orang didorong oleh dorongan-dorongan seksual dan agresif. Perkembangan dini penting karena masalah-masalah kepribadian berakar pada konflik-konflik masa kanak-kanak yang direpresi.
b.    Pendekatan Eksistensial-Humanistik
Berfokus pada sifat dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas untuk menentukkan nasib sendiri, kebebasan dan tanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar, pencarian makna yang unik di dalam dunia yang tak bermakna, berada sendirian dan berada dalam hubungan dengan orang lain, keterhinggaan dan kematian, dan kecenderungan untuk mengaktualkan diri,
c.    Pendekatan Client-Centered
            Memandang manusia secara positif; manusia memiliki suatu kecenderungan ke arah menjadi berfungsi penuh. Dalam konteks hubungan konseling, konseli mengalami perasaan-perasaan yang sebelumnya diingkari. Konseli mengaktualkan potensi dan bergerak ke arah meningkatkan kesadaran, spontanitas, kepercayaan kepada diri, dan keterarahan dalam.
d.    Pendekatan Gestalt
            Manusia terdorong ke arah keseluruhan dan intregasi pemikiran perasaan serta tingkah laku. Pandangannya anti deterministik dalam arti individu dipandang memiliki kesanggupan untuk menyadari bagaimana pengaruh masa lampau berkaitan dengan kesulitan-kesulitan sekarang.
e.    Pendekatan Analisis Transaksional
            Manusia dipandang memiliki kemampuan memilih. Apa yang sebelumnya ditetapkan, bisa ditetapkan ulang. Meskipun manusia bisa menjadi korban dari putusan-putusan dini dan skenario kehidupan, aspek-aspek yang mengalihkan diri bisa diubah dengan kesadaran.
f.     Pendekatan Tingkah Laku
            Manusia dibentuk dan dikondisikan oleh pengondisian sosial budaya. Pandangannya deterministik, dalam arti tingkah laku, dipandang sebagai hasil belajar dan pengondisian.
g.    Pendekatan Rasional Emotif
            Manusia dilahirkan dengan potensi untuk berpikir rasional, tetapi juga dengan kecenderungan-kecenderungan ke arah berpikir curang. Mereka cenderung untuk menjadi korban dari keyakinan-keyakinan yang irrasional dan untuk mereindoktrinasi dengan keyakian-keyakinan yang irrasional itu. Tetapi berorientasi kognitif-tingkah laku-tindakan, dan menekankan berpikir, menilai, menganalisis, melakukan dan memutuskan ulang. Modelnya adalah didaktif direktif, Terapi dilihat sebagai proses reduksi.
h.    Pendekatan Realitas
            Manusia membutuhkan identitas dan mampu mengembangkan "identitas kegagalan". Pendekatan realitas berlandaskan motivasi pertumbuhan dan antideterministik.

7 komentar: